Kamis, Desember 26, 2024

“Quo Vadis” RUU HP (Hukum Pidana): Menuju kodifikasi hukum yang berkeadilan

Pembaruan hukum pidana nasional telah menjadi diskursus panjang di Indonesia. Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RUU HP) adalah upaya monumental untuk menggantikan KUHP warisan kolonial Belanda dengan sistem hukum yang lebih sesuai dengan nilai-nilai bangsa. Namun, perjalanan RUU HP tidak mulus. Perbedaan pandangan substantif sering kali menjadi hambatan dalam proses legislasi, sehingga memunculkan pertanyaan: ke mana arah sesungguhnya RUU HP?

Mengapa RUU HP Dibutuhkan?

KUHP yang berlaku saat ini adalah produk kolonial yang diterapkan melalui asas konkordansi sejak 1918. Upaya pembaruan hukum pidana telah berlangsung sejak Seminar Hukum Nasional I di Semarang pada 1963. Selama lebih dari lima dekade, berbagai konsep RUU HP dirumuskan, diperbaharui, dan didiskusikan melibatkan pemerintah, akademisi, dan praktisi hukum.

RUU HP hadir dengan misi besar untuk merekodifikasi hukum pidana materiil. Langkah ini tidak hanya sebatas amandemen parsial, tetapi membangun ulang sistem hukum pidana berdasarkan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, dan asas universal hak asasi manusia (HAM).

Pilar utama rekodifikasi dalam RUU HP

RUU HP memiliki sejumlah misi strategis, yaitu:

  1. Dekolonialisasi
    Menghapuskan jejak kolonial dalam sistem hukum pidana nasional.
  2. Harmonisasi
    Menyesuaikan hukum nasional dengan berbagai konvensi internasional, termasuk yang berkaitan dengan HAM.
  3. Aktualisasi
    Mengakomodasi perkembangan teori hukum pidana modern.
  4. Demokratisasi
    Mengintegrasikan perlindungan HAM dan asas keadilan restoratif.
  5. Modernisasi
    Memasukkan inovasi dalam hukum pidana, seperti pertanggungjawaban korporasi dan pendekatan hukum adat.

Perubahan mendasar dalam RUU HP

RUU HP mengusung berbagai perubahan signifikan untuk menciptakan hukum yang lebih relevan dengan kebutuhan masyarakat:

  1. Orientasi Hukum
    Menggabungkan pendekatan terhadap perbuatan pidana (daadstrafrecht) dengan perhatian pada pelaku dan korban kejahatan (daad-daderstrafrecht).
  2. Keadilan Restoratif
    Mengedepankan penyelesaian konflik yang melibatkan pelaku, korban, dan masyarakat.
  3. Alternatif Pidana
    Menyediakan opsi selain pidana penjara, seperti pidana sosial dan denda.
  4. Pengakuan Hukum Adat
    Mengakui eksistensi living law atau hukum pidana adat dengan batasan tertentu.
  5. Pidana Mati Bersyarat
    Mengatur pidana mati sebagai upaya terakhir dengan syarat tertentu, mencerminkan jalan tengah antara kelompok retensionis dan abolisionis.

Tantangan dalam pembahasan

RUU HP sering menjadi medan perdebatan sengit di kalangan legislatif, akademisi, dan masyarakat sipil. Beberapa isu kontroversial yang memicu polemik adalah:

  • Penghinaan Presiden
    Pengaturan kembali delik ini menuai kritik karena dianggap mengancam kebebasan berpendapat.
  • Delik Susila
    Kriminalisasi atas perilaku tertentu, seperti LGBT, menjadi sorotan karena dianggap bertentangan dengan prinsip non-diskriminasi.
  • Tindak Pidana Khusus
    Penanganan korupsi, terorisme, dan pelanggaran HAM berat memerlukan keseimbangan antara norma hukum nasional dan standar internasional.

Urgensi Penyelesaian RUU HP

Melalui RUU HP, Indonesia berpeluang memiliki hukum pidana nasional yang lebih kontekstual dan berkeadilan. Penundaan pembahasan RUU HP akan berisiko memperpanjang ketergantungan pada KUHP kolonial dan kehilangan momentum untuk reformasi hukum. Oleh karena itu, semua pihak, baik dari legislatif, eksekutif, yudikatif, maupun masyarakat sipil, perlu bersinergi untuk menyelesaikan pembahasan ini dengan transparansi dan akuntabilitas

RUU HP bukan sekadar pembaruan hukum, melainkan cerminan identitas hukum bangsa. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai lokal dan universal, RUU HP diharapkan mampu menjadi landasan hukum pidana yang berkeadilan dan relevan di masa depan. Kini saatnya semua pihak bekerja sama untuk mewujudkan KUHP baru yang menjadi kebanggaan Indonesia.

RELATED ARTICLES
- Advertisment -